Kuliah udah berjalan empat hari dan gue telat mulu di mata kuliah pertama. Kebo banget gue. Hari pertama telat satu jam. Kuliah di mulai
jam 8 AM, tapi gue datang jam 9 AM. Cerdas Per. Cerdas.
Dua hari yang lain
gue telat lebih dari 30 menit. Jelas banget kalo ini salah… GUE. Ya...iyalah. Masa' salah bencong Taman Lawang. Gimana toh
Masper. Bisa telat gitu lho. Ya… Namanya juga hidup. Namanya juga kuliah.
Namanya juga Masper. Bodo amat!
Satu hari yang lain
gimana?
Nah, kalo itu
gue sebenernya telat gak telat si. Kuliah mulai jam 8 AM dan gue datang jam
8.30 AM kurang dikit. Tetep telat kali, Per.
Masa?
Belum telat,
kok. Orang dosennya belum dateng. Ngehehehe. Ukuran telat bagi gue adalah saat
gue datang ke kelas dan dosennya udah ada. Jadi sejauh dosennya belum dateng,
gue anggap belum telat. Yoi.
Untungnya hampir
semua dosen yang ngajar gue “baik-baik”. Jadi kalaupun gue telat nggak bakal di
apa-apain. Mungkin dalem hati dosennya cuma bisa bilang, “Berani-beraninya dia
telat di mata kuliah gue. Awas lo, gue bakal kasih nilai E- .”
Yang bikin dosen “gak
baik” itu, kadang ngasih tugasnya gak ketulungan. Bahkan, salah satu dosen gue hobi
banget ngasih tugas. Setiap kali pertemuan pasti ngasih tugas. Hobi kok ngasih
tugas. Hobi tuh yang lebih elegan gitu lho, misalnya suka makan nasi pake kuah
kopi item atau apa kek.
***
Di salah satu mata kuliah gue, Etika Lingkungan, gue dijelasin kalau hak asasi nggak cuma
buat manusia, tapi alam juga punya. Dalam kehidupan manusia namanya Hak Asasi
Manusia (HAM), nah, kalau alam namanya Hak Asasi Lingkungan (HAL). Misalnya, perbuatan manusia yang menebang hutan akan melanggar hak asasi hutan untuk
tetap ada atau hidup.
Di pertemuan
kedua dosennya bilang kalau KONSEP PACARAN seharusnya bisa diterapkan untuk
lingkungan. Mengingat saat ini banyak banget orang yang nggak peduli terhadap
lingkungan. Kalau kita sadar, diluar sana ada banyak orang yang suka buang sampah sembarangan.
Suka menebang pohon sembarangan. Suka kencing sembarangan.
Kalau KONSEP
PACARAN diterapkan untuk alam, kayaknya gue akan menolak keras deh. Kenapa?
Kalian tahu kan
gimana pacaran jaman sekarang. Kalian tahu kan apa aja yang dilakuin bagi kebanyakan
orang pacaran. Kalian tahu kan kalau orang pacaran suka melakukan hal-hal
seperti: pegangan tangan, pelukan, ciuman, bahkan… ah syudahlah. Kebayang kan
kalo misalnya konsep ini diterapkan untuk lingkungan?
Bisa jadi ada
orang yang ngeliat pohon gede di pinggir jalan, lalu dia
menghampirinya, memandangnya, dan memeluknya bak
seorang kekasih seraya ngomong, “Pohon. Kamu adalah sumber kehidupan. Kamu
adalah sumber oksigen yang aku hirup. Kamu luar biasa, Pohon. Bahkan ketika
kamu mati pun, tubuh kamu masih bisa buat bahan bangunan, kertas, dan kayu bakar.
Untuk semua jasa yang kamu berikan aku ucapkan terima kasih. Tapi, maaf kemarin
sore aku kencing di batang kamu.”
Lihatlah, betapa absurd-nya ketika memperlakukan lingkungan dengan konsep pacaran.
Oke. Kayaknya
bukan itu maksud dosen gue. Konsep pacaran yang dimaksud adalah konsep
pacaran yang baik. Maksudnya, pacaran yang sehat. Maksud dari maksudnya, pacaran yang penuh kasih sayang. Pacaran yang saling mencintai, saling menghargai, saling
menghormati, dan saling-saling yang lain.
Nah, jadi bagaimana
kawan? Udah kebayang kan, maksudnya gimana.
Iya. Jadi kita
sebagai manusia yang beradab dan berkahlak mulia harus mencintai, menghargai,
menghormati dan menjaga kelestarian lingkungan. Lingkungan kita ini udah rusak,
kawan. Banyak masalah lingkungan yang kita hadapi. Polusi-lah, banjir-lah, sampah
dimana-mana-lah.
Kita harus sadar
bahwa lingkungan sangat penting untuk kehidupan. Kita bisa hidup karena
lingkungan (bumi). Kita bisa bernafas
karena lingkungan (oksigen). Kita
bisa minum karena lingkungan (air).
Kita bisa pup karena lingkungan (toilet).
Toilet juga
butuh lahan kan. Lahan bagian dari tanah. Dan tanah bagian dari lingkungan.
O. Ya. Kata
dosen lagi, saking pentingnya Hak Asasi Lingkungan, kita juga harus selektif
dalam memilih makanan. Kata dia, satu hal yang pasti, kita gak boleh makan
tauge. Kenapa? Karena tauge merupakan makanan belum dewasa. Sama aja dengan anak ayam yang belum pantas kita makan. Kalau kita makan,
maka sama halnya dengan menghambat tauge tumbuh jadi kacang (kedelai). Dan itu
melanggar hak asasi tauge untuk terus tumbuh.
Tapi maap-maap
aja ya Bu Dosen Yang Terhormat, kayaknya saya bakal tetep makan bakwan. *lah*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar