WeW: Si Kaya dan si Miskin
Minggu, 04 Oktober 2015

Si Kaya dan si Miskin

Gue pengen ngebahas masalah serius, nih. Pertama, kita mulai dari gambar ini.

Ketika melihat gambar di atas apa yang kalian pikirkan ?


Kalau gue, mungkin juga kalian, akan menjawab: KESENJANGAN EKONOMI.

Kesenjangan ekonomi terjadi karena adanya ketimpangan dalam pemerataan pendapatan antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan ekonomi mungkin udah jadi masalah klasik di Indonesia. Kita bisa melihat sendiri bagaimana gambaran kesenjangan yang terjadi. Misalnya di perkotaan yang ditumbuhi gedung-gedung bertingkat, namun di sekitarnya masih ada perkampungan kumuh.

Banyak faktor yang memicu terjadinya kesenjangan ekonomi, seperti: terjadinya pemusatan kegiatan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, lapangan pekerjaan yang terbatas, dan lain-lain. Gue nggak mau bahas lebih lanjut, takut salah, karena gue bukan ahli ekonomi. Tapi, gue  sedih aja sama fenomena ini.

Gue ngerasa kok kayaknya bener ya, YANG KAYA MAKIN KAYA, YANG MISKIN MAKIN MISKIN. Perasaan ini terasa lebih nyata saat gue melakukan survei di perkampungan kumuh, yang lokasinya berada di tengah kompleks perumahan. Ceritanya gini.

Hari Jum’at, 2 Oktober 2015, gue dan temen satu kelompok melakukan survei buat tugas kuliah. Temanya tentang “Permukiman Kumuh”. Tugasnya udah dari tiga atau empat minggu yang lalu, cuma nyari lokasi survei yang pas susah banget. Saking susahnya kita harus mendaki gunung, lewati lembah, nyeberangin jalan, nyemplung di got.

Mungkin bukan susah kali ya, cuma kitanya aja yang males nyari. Hehe.

Sesuai temanya, tempat yang kita survei harus kumuh. Contohnya: permukiman kumuh di pinggiran rel kereta, pinggiran sungai/danau, perkampungan pemulung, atau jamban.
Setelah menghabiskan berpeluh-peluh keringat untuk mencari lokasi yang pas akhirnya salah satu temen gue, si Eva, nemu perkampungan pemulung di daerah Kedaung, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Melihat penampakan foto yang emang keliatan kumuh, kita sepakat untuk melakukan survei di lokasi itu.

Kelompok tugas ini ada 8 orang yang terdiri dari: Kak Eva, Kak Deslina, Mbak Hasanah, Kak Ajeng, Teh Hanny, Bro Rio, Om Iba, dan MasPer alias gue. Masing-masing dari kita punya pasangan. Tujuannya biar lebih efektif dan efisien. Yang lebih penting biar hemat bensin dan polusi yang dihasilkan semakin kecil. Selain itu, karena motor yang tersedia emang cuma empat biji. Jadi pas kan? Pas.

Adapun pembagian pasangannya sebagai berikut:

Kak Eva + Kak Deslina

Mbak Hasanah + Kak Ajeng

Bro Rio + Om Iba

Teh Hanny + Gue

Coba perhatikan pembagian pasangannya. Kalau pembagiannya ditentukan berdasarkan siapa pacarnya berarti udah ketahuan kan siapa yang normal? Gue doang. Sisanya homo semua. =D

Di hari yang udah ditentukan kita janjian jam 5 PM. Ini sih usul Eva dan Deslina karena mereka jam 4-an baru pulang kerja. Tapi, karena takut kesorean, bahkan kemaleman, gue, Hanny, Iba, Rio, Hasanah, dan Ajeng memutuskan untuk berangkat duluan, sekitar jam 4-an PM. Kita mikir kalau lokasi yang Eva rekomendasikan bisa kita temukan dengan mudah. Ini karena kita udah melalang  buana pernah lewat jalanan di daerah Ciputat.

Setelah persiapan selesai gue dan temen-temen berangkat bareng. Cuma butuh beberapa menit untuk sampai di daerah Kedaung-Ciputat.

Dengan kesotoyan yang meluap-luap kita menjamah Kedaung-Ciputat. Berbekal foto dan alamat yang dikasih Eva.
Tapi, udah sekitar tiga puluh menit kita belum nemu lokasi yang dimakud. Ini membuat kita terpaksa menyusun rencana dadakan biar lokasinya cepat ditemukan. Efek sotoy emang nggak baik.


Jadi rencana dadakan kita adalah BERPENCAR. Masing-masing dari kita teserah mau kemana nyarinya. Mau di Kedaung bagian selatan, Kedaung bagian utara, Kedaung bagian tengah, atau di Desa Konohagakure, terserah, yang penting ketemu.

Sip. Kita pun mencar. Gue sama tebengan gue, Teh Hanny, meluncur menuju lokasi yang kira-kira mirip sama foto yang dikasih Eva. Semangat kita membara karena akan bersaing buat cepet-cepetan nemuin lokasinya. Pasti keren banget kalau kita yang nemu duluan. Heheu

Karena kita orangnya gak ketinggalan zaman dan gak mau menyia-nyiakan teknologi, maka kita make Global Positioning System alias GPS. Yosh.

Dipandu Hanny di belakang gue yang ngebuka GPS, gue tinggal belok kanan-belok kiri aja. “Turn left, turn right”, suara mbak-mbak GPS yang sangat sotoy mengarahkan kita. Gue berharap si mbak GPS ini bisa mengantarkan gue ke pelaminan, eh, ke lokasi yang gue tuju. Tapi, kenyataannya kita malah menuju jalan sempit yang cuma muat buat jalan pasukan semut ngangkut makanan mereka. Kampret.

Dasar mbak GPS. Untung kita masih punya jiwa perike-GPS-an, kalau nggak, udah kita pecat tuh mbak-mbak GPS.

Kayaknya kita yang salah sih. Nggak ngerti gue. Intinya kita kesesat gara-gara GPS di handphone Hanny. Nah, berarti Hanny yang salah, dong? Bisa jadi.

“Eh. Lu pada dimana?” tanya Iba via WhatsApp.

“Kesesat nih, Ba. Lu udah nemu lokasinya ?” tanya Hanny via WhatsApp.

“Udah. Kesini aja. Arahnya dari masjid belok kiri, lurus… bla-bla-bla….” jawab Iba mengarahkan kami ke lokasi yang benar.

Dengan ini berarti misi kita gagal. Iba-Rio ternyata nemu duluan. Sial.

Kita pun bergegas ke TKP. Di tengah perjalanan menuju TKP kita ketemu pasangan Hasanah-Ajeng, jadi akhirnya kita bareng. Sampai sana, gue lihat Iba dan Rio udah nunggu di gang masuk menuju TKP.

Sembari menunggu Eva dan Deslina, kita mulai masuk ke dalam untuk melihat-lihat lokasinya. Begitu ke dalam... gue melihat gambaran perkampungan pemulung yang bener-bener bikin hati gue miris.
Ini penampakannya.



Tempatnya sederhana dan kumuh. Dari hasil wawancara, gue tahu mereka hanya mengandalkan pemasukan dari hasil penjualan barang bekas yang mereka kumpulkan. Keadaan di sana juga memprihatinkan karena sumber air satu-satunya yang mereka gunakan sehari-hari mengalami kekeringan.

Memang menyedihkan.

Gue membayangkan betapa keras dan sulitnya kehidupan mereka. Kemudian... dari pengalaman ini, ada beberapa pelajaran yang bisa gue ambil.

1.      Gue jadi berpikir tentang pentingnya kita bersyukur. Konsep “Jangan melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah” mungkin ada benernya juga. Ketika kita melihat orang di atas kita, kita akan sulit mensyukuri apa yang kita punya. Tapi, ketika kita melihat orang di bawah kita, kita akan bersyukur karena masih banyak orang yang hidupnya tidak seenak dan seberuntung kita.
Di sisi lain, kita boleh melihat orang di atas kita sebagai motivasi untuk sukses, bukan malah iri.

2.      Gue jadi berpikir kenapa para koruptor suka menimbun harta, padahal masih banyak rakyat miskin di sekitar mereka. Apa mereka nggak peduli? Apa mereka nggak sadar kalau yang mereka lakukan itu salah?
Gue penasaran sama visi misi para koruptor ini. Apa jangan-jangan korupsi adalah passion mereka. Jadi, kalau nggak korupsi rasanya nggak asik. Gitu?

3.    Orang yang terlahir dari orangtua miskin biasanya punya mentalitas miskin. Mentalitas yang cenderung membuat orang itu nyaman-nyaman aja jadi orang miskin. Yang penting kebutuhannya terpenuhi. Orang dengan mental seperti ini nggak yakin dia bisa jadi orang kaya. Jadi mereka memilih untuk menikmati apa yang udah ada. Mereka hanya melakukan apa yang mereka bisa tanpa berinovasi atau melakukan sesuatu yang baru.

Berbeda halnya dengan orang kaya yang biasanya terlahir dengan mentalitas kaya. Mereka cenderung punya keyakinan untuk bisa kaya seperti orang tua mereka. Kalaupun nggak bisa jadi kaya dengan usaha sendiri, mereka masih bisa tertolong dengan kekayaan orangtua mereka.

Selain itu, berdasarkan pengamatan sotoy gue, orang kaya kebanyakan punya kualitas diri yang baik. Mereka disiplin waktu, gigih dalam meraih impian mereka, dan berani mencoba sesuatu yang baru. Inilah yang membuat perbedaan antara si kaya dan si miskin. Dan mungkin ini juga yang menyebabkan kenapa di Indonesia masih banyak rakyat miskin. Walaupun, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar.

4.       Miskin bukan pilihan. Gue rasa nggak ada yang mau terlahir sebagai orang miskin. Tapi apa daya. Kita nggak bisa milih. Tuhan udah nentuin jalan hidup kita. Tuhan udah nentuin apakah kita dilahirkan sebagai si kaya atau si miskin.

Dibalik kehidupan si miskin yang sulit, ada kelebihan tersendiri yang bisa didapatkan dari kehidupan mereka. Orang miskin udah terbiasa susah, jadi jika sewaktu-waktu mereka kaya, mereka udah siap. Beda halnya dengan orang yang terlahir dari keluarga kaya, belum tentu dia siap jika sewaktu-waktu jadi orang susah/miskin.

Jadi mau miskin atau kaya mending syukuri aja deh. Mungkin itu yang terbaik. Toh, kita mau kaya atau miskin, tetep bisa makan, kan. Ya... walaupun beda. Yang kaya bisa makan daging setiap hari. Yang miskin mungkin cuma bisa makan tempe setiap hari. Masih mending. Daripada busung lapar karena nggak bisa makan. Apapun keadaan kita, kita harus tetep bersyukur.

Gue salut banget dengan apa yang mereka tunjukkan saat gue ke sana. Dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka masih bisa tersenyum dan nggak keliatan menderita.
Kayak gini.


Beberapa saat kemudian Eva-Deslina dateng ke TKP. Mereka bawa makanan untuk dibagiin ke anak-anak di sana. Anak-anak keliatan seneng dan antusias saat Eva mulai membagikan makanan. Gue seneng ngeliat kebahagiaan kecil yang mereka dapetin dari kita Eva.

Tahu gini, kenapa gue nggak bawa makanan yang banyak aja sekalian. Sayang banget, gue nggak kepikiran sama sekali. Payah.


Sebelum menyudahi pertemuan penuh makna ini, kita foto bersama untuk dokumentasi.
Nih.... Tebak aja ya, gue yang mana.


Lagi ah....
Maap, itu yang di tengah agak seksi.

Oke. Sekian dulu tulisan kali ini. Makasih buat temen-temen kelompok gue: Hanny, Iba, Rio, Ajeng, Hasanah, Eva, Deslina, yang mau berjuang bersama demi terlaksanakannya tugas ini. *Lebay*
Tapi ada satu yang kurang. Laporannya belum nih. Ngehehehe

10 komentar:

WeW