Gue pengen ngebahas masalah serius,
nih. Pertama, kita mulai dari gambar ini.
Ketika melihat
gambar di atas apa yang kalian pikirkan ?
Kalau gue, mungkin juga kalian, akan
menjawab: KESENJANGAN EKONOMI.
Kesenjangan ekonomi
terjadi karena adanya ketimpangan dalam pemerataan pendapatan antara si
kaya dan si miskin. Kesenjangan ekonomi mungkin udah jadi masalah klasik di
Indonesia. Kita bisa melihat sendiri bagaimana gambaran kesenjangan yang
terjadi. Misalnya di perkotaan yang ditumbuhi gedung-gedung bertingkat, namun
di sekitarnya masih ada perkampungan kumuh.
Banyak faktor
yang memicu terjadinya kesenjangan ekonomi, seperti: terjadinya pemusatan
kegiatan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, lapangan pekerjaan yang terbatas,
dan lain-lain. Gue nggak mau bahas lebih lanjut, takut salah, karena gue bukan
ahli ekonomi. Tapi, gue sedih aja sama
fenomena ini.
Gue ngerasa kok
kayaknya bener ya, YANG KAYA MAKIN KAYA, YANG MISKIN MAKIN MISKIN. Perasaan ini
terasa lebih nyata saat gue melakukan survei di perkampungan kumuh, yang lokasinya
berada di tengah kompleks perumahan. Ceritanya gini.
Hari Jum’at, 2
Oktober 2015, gue dan temen satu kelompok melakukan survei buat tugas kuliah.
Temanya tentang “Permukiman Kumuh”. Tugasnya udah dari tiga atau empat minggu
yang lalu, cuma nyari lokasi survei yang pas susah banget. Saking susahnya kita
harus mendaki gunung, lewati lembah, nyeberangin jalan, nyemplung di got.
Mungkin bukan
susah kali ya, cuma kitanya aja yang males nyari. Hehe.
Sesuai temanya, tempat
yang kita survei harus kumuh. Contohnya: permukiman kumuh di pinggiran rel
kereta, pinggiran sungai/danau, perkampungan pemulung, atau jamban.
Setelah menghabiskan berpeluh-peluh keringat untuk mencari lokasi yang pas akhirnya salah satu temen gue, si Eva, nemu perkampungan pemulung di daerah Kedaung, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Melihat penampakan foto yang emang keliatan kumuh, kita sepakat untuk melakukan survei di lokasi itu.
Setelah menghabiskan berpeluh-peluh keringat untuk mencari lokasi yang pas akhirnya salah satu temen gue, si Eva, nemu perkampungan pemulung di daerah Kedaung, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Melihat penampakan foto yang emang keliatan kumuh, kita sepakat untuk melakukan survei di lokasi itu.
Kelompok tugas
ini ada 8 orang yang terdiri dari: Kak Eva, Kak Deslina, Mbak Hasanah, Kak Ajeng,
Teh Hanny, Bro Rio, Om Iba, dan MasPer alias gue. Masing-masing dari kita punya
pasangan. Tujuannya biar lebih efektif dan efisien. Yang lebih penting biar
hemat bensin dan polusi yang dihasilkan semakin kecil. Selain itu, karena motor yang tersedia emang cuma empat biji. Jadi pas kan? Pas.
Adapun pembagian
pasangannya sebagai berikut:
Kak Eva + Kak Deslina
Mbak Hasanah + Kak
Ajeng
Bro Rio + Om Iba
Teh Hanny + Gue
Coba perhatikan
pembagian pasangannya. Kalau pembagiannya ditentukan berdasarkan siapa pacarnya
berarti udah ketahuan kan siapa yang normal? Gue doang. Sisanya homo semua. =D
Di hari yang
udah ditentukan kita janjian jam 5 PM. Ini sih usul Eva dan Deslina karena mereka jam
4-an baru pulang kerja. Tapi, karena takut kesorean, bahkan kemaleman, gue,
Hanny, Iba, Rio, Hasanah, dan Ajeng memutuskan untuk berangkat duluan, sekitar
jam 4-an PM. Kita mikir kalau lokasi yang Eva rekomendasikan bisa kita temukan
dengan mudah. Ini karena kita udah melalang
buana pernah lewat jalanan di daerah Ciputat.
Setelah persiapan
selesai gue dan temen-temen berangkat bareng. Cuma butuh beberapa menit untuk sampai di daerah Kedaung-Ciputat.
Dengan kesotoyan yang meluap-luap kita menjamah Kedaung-Ciputat. Berbekal foto dan alamat yang dikasih Eva.
Tapi, udah sekitar tiga puluh menit kita belum nemu lokasi yang dimakud. Ini membuat kita terpaksa menyusun rencana dadakan biar lokasinya cepat ditemukan. Efek sotoy emang nggak baik.
Tapi, udah sekitar tiga puluh menit kita belum nemu lokasi yang dimakud. Ini membuat kita terpaksa menyusun rencana dadakan biar lokasinya cepat ditemukan. Efek sotoy emang nggak baik.
Jadi rencana
dadakan kita adalah BERPENCAR. Masing-masing dari kita teserah mau kemana
nyarinya. Mau di Kedaung bagian selatan, Kedaung bagian utara, Kedaung bagian
tengah, atau di Desa Konohagakure, terserah, yang penting ketemu.
Sip. Kita pun
mencar. Gue sama tebengan gue, Teh Hanny, meluncur menuju lokasi yang kira-kira
mirip sama foto yang dikasih Eva. Semangat kita membara karena akan bersaing buat
cepet-cepetan nemuin lokasinya. Pasti keren banget kalau kita yang nemu duluan.
Heheu
Karena kita
orangnya gak ketinggalan zaman dan gak mau menyia-nyiakan teknologi, maka kita
make Global Positioning System alias GPS.
Yosh.
Dipandu Hanny di
belakang gue yang ngebuka GPS, gue tinggal belok kanan-belok kiri aja. “Turn left, turn right”, suara mbak-mbak
GPS yang sangat sotoy mengarahkan kita. Gue berharap si mbak GPS ini bisa
mengantarkan gue ke pelaminan, eh, ke lokasi yang gue tuju. Tapi, kenyataannya
kita malah menuju jalan sempit yang cuma muat buat jalan pasukan semut
ngangkut makanan mereka. Kampret.
Dasar mbak GPS. Untung
kita masih punya jiwa perike-GPS-an, kalau nggak, udah kita pecat tuh mbak-mbak
GPS.
Kayaknya kita
yang salah sih. Nggak ngerti gue. Intinya kita kesesat gara-gara GPS di handphone Hanny. Nah, berarti Hanny yang salah, dong? Bisa jadi.
“Eh. Lu pada
dimana?” tanya Iba via WhatsApp.
“Kesesat nih,
Ba. Lu udah nemu lokasinya ?” tanya Hanny via WhatsApp.
“Udah. Kesini
aja. Arahnya dari masjid belok kiri, lurus… bla-bla-bla….” jawab Iba mengarahkan
kami ke lokasi yang benar.
Dengan ini berarti misi kita
gagal. Iba-Rio ternyata nemu duluan. Sial.
Kita pun bergegas
ke TKP. Di tengah perjalanan menuju TKP kita ketemu pasangan Hasanah-Ajeng,
jadi akhirnya kita bareng. Sampai sana, gue lihat Iba dan Rio udah nunggu di
gang masuk menuju TKP.
Sembari menunggu Eva
dan Deslina, kita mulai masuk ke dalam untuk melihat-lihat lokasinya. Begitu ke
dalam... gue melihat gambaran perkampungan pemulung yang bener-bener bikin hati
gue miris.
Ini penampakannya.
Tempatnya sederhana
dan kumuh. Dari hasil wawancara, gue tahu mereka hanya mengandalkan pemasukan
dari hasil penjualan barang bekas yang mereka kumpulkan. Keadaan di sana juga
memprihatinkan karena sumber air satu-satunya yang mereka gunakan sehari-hari mengalami
kekeringan.
Memang menyedihkan.
Memang menyedihkan.
Gue membayangkan betapa keras dan sulitnya kehidupan mereka. Kemudian... dari pengalaman
ini, ada beberapa pelajaran yang bisa gue ambil.
1. Gue
jadi berpikir tentang pentingnya kita bersyukur. Konsep “Jangan melihat ke
atas, tapi lihatlah ke bawah” mungkin ada benernya juga. Ketika kita melihat orang
di atas kita, kita akan sulit mensyukuri apa yang kita punya. Tapi, ketika kita
melihat orang di bawah kita, kita akan bersyukur karena masih banyak orang yang
hidupnya tidak seenak dan seberuntung kita.
Di
sisi lain, kita boleh melihat orang di atas kita sebagai motivasi untuk sukses,
bukan malah iri.
2. Gue
jadi berpikir kenapa para koruptor suka menimbun harta, padahal masih banyak
rakyat miskin di sekitar mereka. Apa mereka nggak peduli? Apa mereka nggak
sadar kalau yang mereka lakukan itu salah?
Gue
penasaran sama visi misi para koruptor ini. Apa jangan-jangan korupsi adalah passion mereka. Jadi, kalau nggak
korupsi rasanya nggak asik. Gitu?
3. Orang
yang terlahir dari orangtua miskin biasanya punya mentalitas miskin. Mentalitas
yang cenderung membuat orang itu nyaman-nyaman aja jadi orang miskin. Yang penting
kebutuhannya terpenuhi. Orang dengan mental seperti ini nggak yakin dia bisa
jadi orang kaya. Jadi mereka memilih untuk menikmati apa yang udah ada. Mereka hanya
melakukan apa yang mereka bisa tanpa berinovasi atau melakukan sesuatu yang
baru.
Berbeda halnya dengan orang kaya yang biasanya terlahir dengan
mentalitas kaya. Mereka cenderung punya keyakinan untuk bisa kaya seperti orang
tua mereka. Kalaupun nggak bisa jadi kaya dengan usaha sendiri, mereka masih
bisa tertolong dengan kekayaan orangtua mereka.
Selain itu, berdasarkan pengamatan sotoy gue, orang kaya kebanyakan punya kualitas diri yang
baik. Mereka disiplin waktu, gigih dalam meraih impian mereka, dan berani
mencoba sesuatu yang baru. Inilah yang membuat perbedaan antara si kaya dan si
miskin. Dan mungkin ini juga yang menyebabkan kenapa di Indonesia masih banyak rakyat miskin. Walaupun, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar.
4. Miskin
bukan pilihan. Gue rasa nggak ada yang mau terlahir sebagai orang miskin. Tapi apa daya. Kita nggak bisa milih. Tuhan udah nentuin jalan hidup kita. Tuhan udah nentuin apakah kita dilahirkan sebagai si kaya atau si miskin.
Dibalik kehidupan si miskin yang sulit, ada kelebihan tersendiri yang bisa didapatkan dari kehidupan mereka. Orang miskin udah terbiasa susah, jadi jika sewaktu-waktu mereka kaya, mereka udah siap. Beda halnya dengan orang yang terlahir dari keluarga kaya, belum tentu dia siap jika sewaktu-waktu jadi orang susah/miskin.
Dibalik kehidupan si miskin yang sulit, ada kelebihan tersendiri yang bisa didapatkan dari kehidupan mereka. Orang miskin udah terbiasa susah, jadi jika sewaktu-waktu mereka kaya, mereka udah siap. Beda halnya dengan orang yang terlahir dari keluarga kaya, belum tentu dia siap jika sewaktu-waktu jadi orang susah/miskin.
Jadi mau miskin atau kaya mending syukuri aja deh. Mungkin itu yang terbaik. Toh, kita mau kaya atau miskin, tetep bisa makan, kan. Ya... walaupun beda. Yang kaya bisa makan daging setiap hari. Yang miskin mungkin cuma
bisa makan tempe setiap hari. Masih mending. Daripada busung lapar karena nggak bisa makan. Apapun keadaan kita, kita harus tetep bersyukur.
Gue salut banget dengan apa yang mereka tunjukkan saat gue ke sana. Dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka masih bisa tersenyum dan nggak keliatan menderita.
Kayak gini.
Beberapa saat kemudian
Eva-Deslina dateng ke TKP. Mereka bawa makanan untuk dibagiin ke anak-anak di
sana. Anak-anak keliatan seneng dan antusias saat Eva mulai membagikan
makanan. Gue seneng ngeliat kebahagiaan kecil yang mereka dapetin dari kita
Eva.
Tahu gini, kenapa gue nggak bawa makanan yang banyak aja sekalian. Sayang banget, gue nggak
kepikiran sama sekali. Payah.
Sebelum menyudahi pertemuan penuh makna ini, kita
foto bersama untuk dokumentasi.
Nih.... Tebak aja ya, gue yang mana.
Lagi ah....
Maap, itu yang di tengah agak seksi.
Oke. Sekian dulu tulisan kali ini. Makasih buat temen-temen kelompok gue: Hanny, Iba, Rio, Ajeng, Hasanah, Eva, Deslina, yang mau berjuang bersama demi terlaksanakannya tugas ini. *Lebay*
Tapi ada satu yang kurang. Laporannya belum nih. Ngehehehe
Dari sekian yg ada, mungkin ada satu dua orang yg di dalam hati bilang "jangan tinggalkan kami"
BalasHapusMungkin saja.
HapusKeren kak, lucunya ada+pelajarannya mantap.
BalasHapusThanks deeek....
HapusLanjutkann
BalasHapusYosh....
Hapusmenerima jasa ngerjain tugas dan PR *numpang iklan*
BalasHapusOmdo....
HapusBuah semangka buah duren, lanjutkan per
BalasHapusYosh....
Hapus