WeW: Sensei
Minggu, 15 November 2015

Sensei

Tulisan ini dibuat khusus untuk menyambut Hari Guru pada 25 November 2015.



Setiap guru yang gue temui pasti punya karakter yang berbeda-beda. Mulai dari cara ngajarnya, kebiasaannya, sampai sifatnya. Tentu, ini sesuai kodrat manusia bahwa setiap manusia itu unik. Antara manusia satu dengan manusia lainnya berbeda. Bahkan, bayi kembar pun punya hal yang bikin mereka jadi beda.

Gue adalah mahasiswa Planology semester lima. Sampai saat ini gue udah ketemu banyak guru dengan berbagai macam karakter. Dan dari pengalaman ini, gue jadi bisa mengklasifikasikan tipe guru menjadi 3 (tiga) macam. Tentu, ini versi gue.

Sebenernya ada banyak banget tipe guru yang udah dibahas di media sosial. Ada guru killer, guru cantik, guru males, bahkan guru mesum. Tapi, secara garis besar gue membaginya menjadi 3 (tiga), yaitu:

  1. GURU BERHASIL
Guru ini selalu dinantikan oleh muridnya. Kalau dia ada, murid seneng. Kalau dia nggak ada, murid nyariin.
Kalau dia ngajar, muridnya ngerti.
Dan biasanya dia bisa bikin muridnya dapet nilai bagus saat ulangan.


  1. GURU GAGAL
Guru yang tidak disukai bahkan dibenci oleh muridnya. Kalau dia ada, muridnya gelisah. Kalau dia nggak ada, muridnya bersyukur.
Kalau dia ngajar, muridnya nggak ngerti. Biasanya karena nggak suka, jadinya males dengerin dia ngomong.
Pada akhirnya, dia sering gagal bikin muridnya dapet nilai bagus saat ulangan.

  1. GURU PADA UMUMNYA
Mungkin ini tipe guru yang paling banyak gue temui. Ada kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh guru ini. Tapi, bukan kelebihan dan kekurangan sebagai manusia pada umumnya, tapi lebih kepada kelebihan dan kekurangan sebagai seorang guru.
Berbeda dengan ‘Guru Berhasil’ yang terlihat sempurna, guru ini punya dua sisi yang berbeda. Kadang muridnya suka sama dia, tapi kadang muridnya juga nggak suka sama dia.
Misalnya gini:

Guru A
Guru A kalau ngajar enak, murid bisa ngerti. Ini yang bikin murid suka sama dia.
Disisi lain, guru A suka ngasih soal yang susah saat ulangan, sehingga muridnya sering dapet nilai jelek. Ini yang bikin muridnya nggak suka sama dia.

Guru B
Guru B selalu ngasih soal ulangan yang gampang, jadi muridnya bisa dapet nilai bagus. Ini yang bikin murid suka sama dia.
Disisi lain, guru B suka marah-marah kalau ngajar di dalam kelas. Ini yang bikin murid nggak suka sama dia.

Guru C
Guru C selalu ngasih penghargaan kalau ada muridnya yang berhasil mendapatkan nilai sempurna saat ulangan. Ini yang bikin murid suka sama dia.
Disisi lain, guru ini jarang banget masuk kelas. Ini yang membuat murid..., juga suka sama dia. Iya…. Karena murid senang banget sama ‘jam kosong’.

Secara umum, mungkin ini cerminan untuk kebanyakan guru saat ini. Sebagai guru, mereka punya sisi baik dan sisi buruk.

Begitu juga dengan murid yang diajarnya. Murid juga punya karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang nakal. Ada yang baik. Ada yang biasa-biasa aja.

Dengan karakteristik yang berbeda seperti ini, maka perlu kecerdikan oleh seorang guru dalam memperlakukan murid-muridnya.

Gue nggak suka dengan guru yang menilai sifat muridnya hanya dari satu sisi saja. Misalnya: dari karakter muridnya yang selalu keliatan tidak serius di dalam kelas. Beberapa guru akan bilang kalau murid itu tidak baik.

Gue nggak setuju. Karena guru hanya menilai muridnya dari keseriusan dia di dalam kelas. Guru tersebut tidak tahu kehidupan murid di luar sekolah. Memang, karakter murid di sekolah bisa menggambarkan karakter aslinya. Tapi, nggak semua murid. Murid yang tidak serius di dalam kelas belum tentu tidak baik.

Ketika ada murid yang tidak serius di kelas, guru akan bilang bahwa murid itu tidak menghargainya. Padahal, murid itu belum tentu tidak menghargai gurunya. Lagipula, senakal-nakalnya murid, dia akan selalu hormat kepada gurunya, sejauh gurunya masih bersikap baik layaknya seorang guru.

Berbicara mengenai pahlawan yang satu ini, gue punya pengalaman unik yang nggak bisa gue lupain dengan salah satu guru SMP. Namanya Pak Pri. Dia guru olahraga. Orangnya galak. Tampangnya macam tentara. Sangar. Hampir semua siswa ketar-ketir kalau ketemu dia, termasuk gue. Kalau ada anak yang nakal dikit aja mungkin langsung di gantung di pohon depan sekolah.

Jadi, waktu itu hari Senin. Hari di mana gue males bangun. Karena selain kebawa suasana libur di hari Minggu, ada hal lain yang bikin males, yaitu UPACARA BENDERA. Satu-satunya alasan yang bikin gue semangat ikut upacara adalah karena bisa ngeliat gebetan di lapangan upacara.

Tapi, semales-malesnya gue bangun di hari Senin, gue tetep bangun dan berangkat ke sekolah. Sebelumnya gue nggak pernah telat, hingga hari itu. Gue bangun kesiangan. Dem.

Jarak antara rumah ke sekolah sekitar tiga kilo meter. Dan kalau kesiangan pasti susah dapet angkotnya. Maklum, desa gue masih agak terpencil, jadi angkotnya belum serame Jakarta yang bisa ngetem di mana aja.

Setelah menunggu lama, si angkot akhirnya dateng. Tapi, tetep aja gue telat dateng ke sekolah. Gue telat 15 menit dari jam masuk sekolah, jam 7 pagi. Karena nggak mungkin lewat gerbang depan, gue akhirnya masuk lewat pintu belakang sekolah.
Note: ini bukan nakal, tapi cerdik.

Begitu sampai kelas, semua temen-temen gue udah ada di lapangan upacara. Gue yang panik, segera ambil topi, lalu berniat mau nyempil di barisan paling belakang. Tapi, naas, diperjalanan ke lapangan upacara, gue dihadang Pak Pri. Rupanya, dia sedang keliling buat nyari siswa yang nggak ikut upacara.

“Ngapain kamu?” tanya dia.

Gue panik. Kalau gue jujur bisa-bisa bakal digantung. Gue bingung mau ngomong apa, sampai akhirnya gue nemu ide yang brilian terpaksa berbohong. “Lagi sakit perut, Pak.” jawab gue megangin perut sambil pura-pura meringis kesakitan.

“Oh. Kenapa nggak ke UKS?”

“I-ini, mau ke sana kok, Pak.”

“Yaudah.”

“I-iya, pak.”

Gue segera melengos pergi ke UKS. Takut akting gue ketahuan. Hehehe


Teruntuk Pak Pri. Saya mohon maaf, karena sudah berbohong sama Bapak. Ini saya lakukan semata-mata hanya untuk menyelamatkan nyawa saya, pak. Saya nggak mau dicemplungin ke laut, pak. Nggak bisa renang soalnya. Sekali lagi saya mohon maaf. *sungkem*

Setelah gue pikir-pikir, bagaimana pun karakternya, guru tetaplah guru. Kita mungkin berharap semua guru adalah tipe ‘Guru Berhasil’. Tapi, kembali pada kodrat manusia bahwa setiap manusia itu unik dan berbeda-beda.

Bagaimanapun sifatnya, guru teteplah guru. Berkat dia, kita bisa membaca, menulis, dan berhitung. Mungkin ada karakter guru yang tidak kita sukai. Tapi, percayalah bahwa apapun yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan kita.

Bagiamanapun kebiasaan dan cara ngajarnya, mereka tetap berjasa besar. Mereka tetap pahlawan. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Dua ungkapan yang mungkin pantas untuk mereka adalah TERIMA KASIH dan MAAF.

TERIMA KASIH atas semua ilmu yang sudah kalian berikan.

Dan MAAF karena tidak bisa membalas jasa-jasa kalian yang luar biasa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WeW