Hujan.
Gue pengen bahas
tentang hujan. Lebih spesifik lagi hujan yang terjadi di Jakarta. Kenapa? Karena hujan di Jakarta
sering dianggap sebagai “pembawa bencana”.
Lalu, benarkah
anggapan yang mengatakan bahwa hujan adalah “pembawa bencana” ?
Kita akan
cari tahu.
***
Kita mulai dari
sejarah bumi.
Menurut buku
sejarah yang gue baca, bumi yang kita tempatin ini udah berumur kurang lebih 2,5
milyar tahun. Dan menurut buku sejarah gue (lagi), bumi terbentuk melalui tahapan
zaman sebagai berikut.
- Zaman
Arkaekum
Zaman
di mana belum ada tanda-tanda kehidupan.
- Zaman
Paleozoikum
Zaman
di mana sudah muncul binatang sejenis ikan dan binatang amphibi.
- Zaman
Mesozoikum
Zaman
di mana makhluk hidup sudah semakin beragam. Salah satunya adalah Dinosaurus.
- Zaman
Neozoikum atau Kenozoikum
Zaman
di mana munculnya binatang menyusui, seperti kera dan monyet sampai kehidupan
manusia purba.
Dari zaman ke
zaman, kita bisa dibilang bahwa dampak yang disebabkan oleh hujan pasti mengalami
perkembangan.
Ketika kita
bicara tentang hujan yang terjadi pada zaman dimana manusia belum ada, dampak
hujan mungkin nggak terlalu dipikirkan. Kalaupun waktu itu terjadi banjir
bandang karena hujan, akibat yang ditimbulkan juga nggak terlalu berbahaya,
karena manusia belum ada. Nah, lalu bagaimana dengan hujan yang terjadi saat
ini, khususnya di Jakarta ?
Berbicara
tentang hujan yang terjadi di Jakarta, maka gue rasa ‘beberapa’ orang akan
menganggap bahwa hujan adalah “pembawa bencana” dengan satu alasan bernama
‘banjir’. Mereka akan mengganggap bahwa musim penghujan adalah musim di mana
hujan bukan lagi sebuah berkah dari Tuhan, melainkan hanya penyebab terjadinya
bencana banjir.
‘Beberapa’ orang
tersebut mungkin ‘benar’. Hanya saja mereka tidak mengerti situasi yang
terjadi, karena pada dasarnya bencana itu terjadi karena perilaku manusia itu
sendiri. Saat manusia membuang sampah sembarangan. Saat manusia menjadikan
danau menjadi tanah lapang. Saat manusia membuat hutan hujan tropis menjadi
hutan gedung bertingkat. Saat manusia nggak tahu apa yang akan terjadi dengan
tindakan yang mereka lakukan.
Ketika bencana
itu datang, mereka akan sibuk mencari sesuatu yang di salahkan. Bahkan, hujan
pun turut menjadi objek yang disalahkan. Mereka yang sibuk mencari-cari kesalahan
tanpa memberikan solusi, mulai merancau ketika banjir datang.
Seperti:
“Banjir lagi…, banji lagi”.
“Perasaaan Jakarta banjir mulu”.
“Kesel banget, telat gara-gara banjir”.
Rancauan yang
menurut gue percuma, karena nggak akan mengubah situasi yang terjadi. Lagipula,
seharusnya mereka merancau dengan nada penyesalan atas kesalahan mereka
sendiri.
Seperti:
“Coba gue nggak buang sampah sembarangan”.
“Coba gue nggak nguruk danau yang indah
itu”.
“Coba gue nggak nangis tiap habis putus”.
Yah...,
bagaimanapun juga, hujan tetaplah sebuah anugerah. Sebuah berkah. Sebuah nikmat
yang harus kita syukuri.
Hujan adalah
sebuah media agar kita bisa merenungi kehidupan yang kita jalani. Agar kita
tahu bahwa langit pun juga bisa berduka. Dan agar kita tahu bahwa jomblo juga
berarti.
Hujan tidak
bersalah. Manusia lah yang salah. Mereka membangun tanpa mengendalikan. Jakarta
yang perlu 30% ruang terbuka hijau terabaikan karena pembangunan tanpa
pengendalian. Sungai sebagai sarana penampung air, malah menjadi penampung
sampah. Maka, tidak heran kalau banjir terjadi saat musim hujan.
Lalu, sekarang
bagaimana?
Entahlah.
Kita
lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku suka hujan. Biasanya kalo sedang hujan, kalau nggak tidur ya nulis. Kadang ada ide yang muncul saat hujan.
BalasHapusSaya suka hujan. Biasanya kalau sedang hujan, saya tidur. Tapi, kadang ada inspirasi tentang mantan yang sudah lama menghilang.
Hapus